Senin, 01 Juni 2015

Doktrinasi Mitos dalam Kehidupan


Untuk mendapatkan pelajaran dapat dilakukan dalam berbagai cara. Merenungi segala peristiwa yang terjadi di sekitar merupakan salah satu metode yang banyak dipakai. Tingkah laku manusia dengan berbagai karakternya juga merupakan suatu pelajaran yang perlu direnungi dan diambil ibrah-nya. Dalam agama Islam, segala peristiwa yang terjadi di alam semesta disebut sebagai ayat kauniyah (http://menaraislam.com/).
“Dan di bumi terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21).
Namun demikian, tak banyak orang yang menyadari bahwa segala peristiwa yang terjadi di semesta ini sebenarnya memiliki pelajaran-pelajaran tersendiri. Allah, dalam bunyi ayat di atas, menegaskan bahwa yang dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat kauniyah tersebut hanyalah orang-orang yang yakin.
Berbicara mengenai keyakinan dalam konteks di atas tentu memiliki berbagai makna mendasar. Yakin dalam arti iman kepada Allah, yang bermakna menyakini dan mengimani adanya Allah. Dalam arti sempit orang-orang Islam. Bisa juga yakin dalam pengertian konteks keilmuan. Artinya, para ilmuan menyadari dan meyakini bahwa segala peristiwa di semesta ini mengandung pelajaran meskipun ilmuan tersebut tidak meyakini adanya Tuhan atau bukan muslim.
Masing-masing makna yakin itu memiliki implikasinya tersendiri. Masing-masing menemukan pelajaran sesuai dengan apa yang diyakininya. Serta yang juga perlu diperhatikan adalah keyakinan itu juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan seseorang terhadap yang diketahuinya itu.
Ambil saja sebuah contoh kisah tragis yang menimpa Galileo Gelilie, seorang filsuf sekaligus ilmuan yang dihukum mati sebab berani melawan keyakinan yang telah dimiliki orang-orang di sekitarnya. Para Vatikan beserta pengikutnya telah meyakini berabad-abad lamanya bahwa matahari mengelilingi bumi.
Secara kasat mata, fatwa Vatikan tersebut dapat diterima oleh semua orang pada saat itu. Hal itu memang sangat sesuai dengan tingkat keilmuan atau pengetahuan yang dimiliki Vatikan. Vatikan tidak pernah melakukan penelitian-penelitian untuk menguatkan keyakinannya. Mereka meyakini hanya sesuai dengan ajaran yang telah didoktrinkan Vatikan sebelumnya.
Doktrin adalah pendapat atau argumen dari para ahli hukum yang terkemuka dan dijadikan dasar atau azas penting dalam hukum dan penerapannya (http://www.habibullahurl.com/). Vatikan di sini memiliki berada pada posisi sebagai argumentator dan (dianggap) ahli hukum terkemuka. Tak pelak sabda-sabdanya diikuti dan diyakini sepenuhnya oleh para pengikutnya.
Akan tetapi, sabda atau doktrin Vatikan justru tidak serta merta diyakini oleh para ilmuan, salah satunya Galileo Galilie. Galileo dengan berlandaskan keyakinan ilmu dan pengetahuan mencoba membuktikan kebenaran doktrin Vatikan. Galileo melakukan berbagai perenungan dan pemikiran mendalam sehingga kelak memunculkan sebuah pernyataan yang sangat bertentangan dengan doktrin Vatikan. Dengan gagah berani, Galileo menyatakan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi tapi sebaliknya, bumi yang mengelilingi matahari. Tentunya, Galileo juga memberikan sejumlah argumen penting dan meyakinkan atas pernyataannya tersebut.
Namun apa yang terjadi? Pernyataan Galileo justru dianggap tidak sesuai dengan doktrin Vatikan dan dianggap menyesatkan. Sehingga filsuf itu pun harus menjalani hukum mati atas kebenaran yang diungkapkannya itu. Baru setelah kematian Galileo, pernyataan tersebut dapat diterima oleh semua pihak.

Doktrin Kering Landasan
Doktrin-doktrin seperti yang dilakukan Vatikan dalam kisah di atas masih banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Doktrin-doktrin itu dihembuskan oleh para pemuka agama, pemuka masyarakat, atau orang-orang terpercaya sehingga diikuti dan ditaati oleh masyarakatnya. Walaupun dalam kenyataannya doktrin tersebut tidak berlandaskan keilmuan melainkan berlandaskan mitos semata.
Anehnya mitos itu memiliki umur yang panjang dan dipercaya bahkan oleh kaum yang berpendidikan—secara formal. Salah satunya adalah kepercayaan kepada benda-benda yang dianggap memiliki tuah. Sehingga sejumlah orang memperlakukan benda-benda tersebut melebihi dari yang semestinya.
Fenomena batu akik yang muncul belakangan ini tampaknya dapat dijadikan contoh yang faktual. Masyarakat dari berbagai tingkatannya, jabatannya, dan posisinya memiliki kegandrungan yang tinggi terhadap batu akik. Sebuah batu akik dapat dipatok seharga ratusan juta dengan iming-iming memiliki tuah tertentu.
Ketika seorang pemuka agama atau pemuka masyarakat yang menghembuskan pernyataan bahwa batu akik jenis tertentu memiliki tuah maka dengan cepat pernyataan tersebut diterima oleh masyarakat. Tak lama kemudian masyarakat pun berbondong-bondong untuk memiliki batu akik tersebut.
Padahal, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Salah satu contoh batu akik yang dipercaya memiliki tuah adalah batu akik jenis bacan. Batu ini dipercaya dapat menjaga keselamatan sang pemilik dari serangan musuh. Pemberian predikat sebagai batu penjaga terhadap batu jenis ini tentu secara akal sehat sangat berlebihan.
Alasannya sangat sederhana, tidak ada pembuktian ilmiah terhadap kasiat atau tuah batu tersebut. Kasiat atau tuah tersebut sepertinya memang sengaja dihembuskan oleh pemilik batu tersebut agar dapat dipasang harga yang mahal. Selain itu, predikat tersebut tampaknya memang diberikan oleh orang-orang terkemuka yang telah mendapat kepercayaan dari masyarakatnya.
Memberikan predikat terhadap batu akik jenis bacan ini pun sebenarnya dapat dengan mudah dipatahkan oleh teori-teori yang telah lebih lama dimunculkan oleh para ilmuan terdahulu. Jika mengambil metode ilmiah, tentu pemberian predikat itu pun sudah tidak dapat dibuktikan.
Apalagi jika memakai teori Syaikh Ibnu Athoillah. Seorang ilmuan, ulama, sekaligus seorang sufi tersebut mengungkapkan bahwa tidak ada sebab akibat. Apa yang terjadi (yang dianggap sebab) dan yang menyusulinya (yang dianggap akibat) sebenarnya bukanlah hubungan sebab akibat. Hanya saja sebuah kebetulan terjadi berurutan. Contohnya, orang yang sakit tidak berarti sebagai akibat dicubit karena ada orang yang dicubit tidak sakit. Jadi, antara cubitan dan rasa sakit sebenarnya tidak ada keterkaitan. Hanya saja, kebetulan antara penciptaan cubitan dan rasa sakit berurutan atau bersama-sama.
Demikian pula yang terjadi pada batu akik jenis bacan yang dianggap memiliki tuah sebagai penjaga dari serangan musuh. Itu tidak lebih dari sekadar mitos yang didoktrinkan. Kalaupun saat memakai batu akik tersebut ternyata musuhnya tidak melawan bisa saja memang ada kemungkinan lain yang justru tidak memiliki keterkaitan dengan batu tersebut.
Doktrin-doktrin yang hanya berlandaskan seperti itu sebenarnya doktrin yang kering dari landasan. Doktrin-doktrin tersebut sengaja dihembuskan demi kepentingan-kepentingan personal. Kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara metodik.
Ironisnya, doktrin-doktrin itu masih tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Meskipun zaman sudah dikatakan modern namun dalam kenyataannya kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang didoktrinkan masih banyak yang mempercayainya. Kepercayaan terhadap dunia perdukunan, misalnya, masih banyak berkembang di masyarakat.

Realita Terbalik
Mitos yang terus berkembang dan dipercaya oleh masyarakat ternyata tidak hanya berdampak terhadap satu orang sebagai penghembusnya yang personal. Melainkan akibat doktrinasi yang belangsung dalam waktu yang lama mengakibatkan dipercaya pula oleh banyak orang. Doktrin tesebut seperti memiliki daya tarik tersendiri untuk membius seseorang sehingga menjadi pengikutnya.
Dalam jangka yang tidak terlalu lama itu pun dapat meyakinkan pengikutnya bahwa doktrinasi tersebut adalah benar dan dapat menjadi kebenaran. Matahari yang mengelilingi bumi seperti yang dihembuskan oleh Vatikan di Yunani atau pun batu akik jenis bacan yang dapat menjaga pemiliknya dari serangan musuh dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Karena kebenaran itu pula sehingga pengikutnya atau lebih tepatnya orang yang memercayainya pun semakin banyak. Idealnya, kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan objek, bisa juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yang sesuai dengan (atau tidak ditolak oleh) orang lain dan tidak merugikan diri sendiri (wikipedia).
Namun, pengertian kebenaran tersebut bergeser akibat doktrinasi. Sebab kepercayaan yang sudah tertanam dalam dirinya sehingga kebenaran sejati itu tak terlihat. Yang muncul hanya keberadaan benda atau objek dan kepercayaan itu sendiri. Orang yang sudah terlanjur memecayai semacam ini tentu sulit mengubah kepercayaannya.

Wajah Baru Tubuh Lama
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Dua hadis di atas merupakan hal yang sangat penting untuk direnungi. Bila dikaitkan dengan mitos maka sebenarnya pergeseran zaman hanya berada pada permukaan. Meskipun tidak menutup kemungkinan pergeseran zaman juga mengubah beberapa hal mendasar dalam kehidupan manusia. Namun, masih tersematnya doktrin-doktrin baru yang berlandaskan mitos menunjukkan bahwa sejatinya manusia tidak mengalami kemajuan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada kecenderung zaman akan bergerak mundur.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw juga ditegaskan bahwa dalam suatu masa umat manusia akan mengikuti umat-umat terdahulu. Hal itu juga sangat berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos. Bila dirunut menurut sejarah tentu jelas diketahui bahwa kepercayaan terhadap mitos-mitos merupakan kepercayaan yang tertanam pada umat-umat terdahulu. Misalnya, pada masa-masa kaum pagan yang menuhankan benda-benda yang dianggap memiliki tuah.
Jika memang demikian adanya, maka secara kasat dapat dipastikan bahwa pergerakan zaman sebenarnya hanya pada permukaan. Komponen-komponen mendasar yang terletak pada tubuhnya belum sepenuhnya berubah. Justru memiliki potensi untuk kembali ke masa lampau.
Doktrinasi berlandaskan mitos sehingga melahirkan kepercayaan-kepercayaan dan kemudian terus bergerak membentuk sebuah pola pikir yang dianggap sebagai kebenaran meski itu tidak sesuai denga kenyataan. Atau yang seperti disebut di atas sebagai kebenaran terbalik. Yakni, kesalahan yang dianggap sebagai kebenaran dan kebenaran justru tidak memiliki arti apa-apa atau lebih tragis jika kebenaran dianggap sebagai kesalahan.
Oleh karena itu, diperlukan gerak seirama antara kemajuan pola pikir dan keyakinan untuk menemukan perubahan yang sejati. Keyakinan yang tidak ditopang oleh pengetahuan tentu hanya mengambang pada tataran ikut-ikutan (taqlid buta). Taqlid buta adalah suatu yang dilarang dalam agama Islam. Umat Islam dituntut untuk mencari ilmu agar mengetahui dan tidak hanya taqlid buta.