Untuk
mendapatkan pelajaran dapat dilakukan dalam berbagai cara. Merenungi segala
peristiwa yang terjadi di sekitar merupakan salah satu metode yang banyak
dipakai. Tingkah laku manusia dengan berbagai karakternya juga merupakan suatu
pelajaran yang perlu direnungi dan diambil ibrah-nya.
Dalam agama Islam, segala peristiwa yang terjadi di alam semesta disebut
sebagai ayat kauniyah (http://menaraislam.com/).
“Dan
di bumi terdapat ayat-ayat (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS.
Adz-Dzariyat: 20-21).
Namun
demikian, tak banyak orang yang menyadari bahwa segala peristiwa yang terjadi
di semesta ini sebenarnya memiliki pelajaran-pelajaran tersendiri. Allah, dalam
bunyi ayat di atas, menegaskan bahwa yang dapat mengambil pelajaran dari
ayat-ayat kauniyah tersebut hanyalah orang-orang yang yakin.
Berbicara
mengenai keyakinan dalam konteks di atas tentu memiliki berbagai makna
mendasar. Yakin dalam arti iman kepada Allah, yang bermakna menyakini dan
mengimani adanya Allah. Dalam arti sempit orang-orang Islam. Bisa juga yakin
dalam pengertian konteks keilmuan. Artinya, para ilmuan menyadari dan meyakini
bahwa segala peristiwa di semesta ini mengandung pelajaran meskipun ilmuan
tersebut tidak meyakini adanya Tuhan atau bukan muslim.
Masing-masing
makna yakin itu memiliki implikasinya tersendiri. Masing-masing menemukan
pelajaran sesuai dengan apa yang diyakininya. Serta yang juga perlu
diperhatikan adalah keyakinan itu juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
seseorang terhadap yang diketahuinya itu.
Ambil
saja sebuah contoh kisah tragis yang menimpa Galileo Gelilie, seorang filsuf
sekaligus ilmuan yang dihukum mati sebab berani melawan keyakinan yang telah
dimiliki orang-orang di sekitarnya. Para Vatikan beserta pengikutnya telah
meyakini berabad-abad lamanya bahwa matahari mengelilingi bumi.
Secara
kasat mata, fatwa Vatikan tersebut dapat diterima oleh semua orang pada saat
itu. Hal itu memang sangat sesuai dengan tingkat keilmuan atau pengetahuan yang
dimiliki Vatikan. Vatikan tidak pernah melakukan penelitian-penelitian untuk
menguatkan keyakinannya. Mereka meyakini hanya sesuai dengan ajaran yang telah
didoktrinkan Vatikan sebelumnya.
Doktrin
adalah pendapat atau argumen dari para ahli hukum yang terkemuka dan dijadikan
dasar atau azas penting dalam hukum dan penerapannya (http://www.habibullahurl.com/).
Vatikan di sini memiliki berada pada posisi sebagai argumentator dan (dianggap)
ahli hukum terkemuka. Tak pelak sabda-sabdanya diikuti dan diyakini sepenuhnya
oleh para pengikutnya.
Akan
tetapi, sabda atau doktrin Vatikan justru tidak serta merta diyakini oleh para
ilmuan, salah satunya Galileo Galilie. Galileo dengan berlandaskan keyakinan
ilmu dan pengetahuan mencoba membuktikan kebenaran doktrin Vatikan. Galileo
melakukan berbagai perenungan dan pemikiran mendalam sehingga kelak memunculkan
sebuah pernyataan yang sangat bertentangan dengan doktrin Vatikan. Dengan gagah
berani, Galileo menyatakan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi tapi
sebaliknya, bumi yang mengelilingi matahari. Tentunya, Galileo juga memberikan
sejumlah argumen penting dan meyakinkan atas pernyataannya tersebut.
Namun
apa yang terjadi? Pernyataan Galileo justru dianggap tidak sesuai dengan
doktrin Vatikan dan dianggap menyesatkan. Sehingga filsuf itu pun harus
menjalani hukum mati atas kebenaran yang diungkapkannya itu. Baru setelah
kematian Galileo, pernyataan tersebut dapat diterima oleh semua pihak.
Doktrin Kering Landasan
Doktrin-doktrin
seperti yang dilakukan Vatikan dalam kisah di atas masih banyak terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Doktrin-doktrin itu dihembuskan oleh para pemuka
agama, pemuka masyarakat, atau orang-orang terpercaya sehingga diikuti dan
ditaati oleh masyarakatnya. Walaupun dalam kenyataannya doktrin tersebut tidak
berlandaskan keilmuan melainkan berlandaskan mitos semata.
Anehnya
mitos itu memiliki umur yang panjang dan dipercaya bahkan oleh kaum yang
berpendidikan—secara formal. Salah satunya adalah kepercayaan kepada
benda-benda yang dianggap memiliki tuah. Sehingga sejumlah orang memperlakukan
benda-benda tersebut melebihi dari yang semestinya.
Fenomena
batu akik yang muncul belakangan ini tampaknya dapat dijadikan contoh yang
faktual. Masyarakat dari berbagai tingkatannya, jabatannya, dan posisinya
memiliki kegandrungan yang tinggi terhadap batu akik. Sebuah batu akik dapat
dipatok seharga ratusan juta dengan iming-iming memiliki tuah tertentu.
Ketika
seorang pemuka agama atau pemuka masyarakat yang menghembuskan pernyataan bahwa
batu akik jenis tertentu memiliki tuah maka dengan cepat pernyataan tersebut
diterima oleh masyarakat. Tak lama kemudian masyarakat pun berbondong-bondong
untuk memiliki batu akik tersebut.
Padahal,
pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Salah satu contoh batu akik yang
dipercaya memiliki tuah adalah batu akik jenis bacan. Batu ini dipercaya dapat
menjaga keselamatan sang pemilik dari serangan musuh. Pemberian predikat
sebagai batu penjaga terhadap batu jenis ini tentu secara akal sehat sangat
berlebihan.
Alasannya
sangat sederhana, tidak ada pembuktian ilmiah terhadap kasiat atau tuah batu
tersebut. Kasiat atau tuah tersebut sepertinya memang sengaja dihembuskan oleh
pemilik batu tersebut agar dapat dipasang harga yang mahal. Selain itu,
predikat tersebut tampaknya memang diberikan oleh orang-orang terkemuka yang
telah mendapat kepercayaan dari masyarakatnya.
Memberikan
predikat terhadap batu akik jenis bacan ini pun sebenarnya dapat dengan mudah
dipatahkan oleh teori-teori yang telah lebih lama dimunculkan oleh para ilmuan
terdahulu. Jika mengambil metode ilmiah, tentu pemberian predikat itu pun sudah
tidak dapat dibuktikan.
Apalagi
jika memakai teori Syaikh Ibnu Athoillah. Seorang ilmuan, ulama, sekaligus
seorang sufi tersebut mengungkapkan bahwa tidak ada sebab akibat. Apa yang
terjadi (yang dianggap sebab) dan yang menyusulinya (yang dianggap akibat)
sebenarnya bukanlah hubungan sebab akibat. Hanya saja sebuah kebetulan terjadi
berurutan. Contohnya, orang yang sakit tidak berarti sebagai akibat dicubit
karena ada orang yang dicubit tidak sakit. Jadi, antara cubitan dan rasa sakit
sebenarnya tidak ada keterkaitan. Hanya saja, kebetulan antara penciptaan
cubitan dan rasa sakit berurutan atau bersama-sama.
Demikian
pula yang terjadi pada batu akik jenis bacan yang dianggap memiliki tuah
sebagai penjaga dari serangan musuh. Itu tidak lebih dari sekadar mitos yang
didoktrinkan. Kalaupun saat memakai batu akik tersebut ternyata musuhnya tidak
melawan bisa saja memang ada kemungkinan lain yang justru tidak memiliki
keterkaitan dengan batu tersebut.
Doktrin-doktrin
yang hanya berlandaskan seperti itu sebenarnya doktrin yang kering dari
landasan. Doktrin-doktrin tersebut sengaja dihembuskan demi
kepentingan-kepentingan personal. Kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara
metodik.
Ironisnya,
doktrin-doktrin itu masih tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Meskipun
zaman sudah dikatakan modern namun dalam kenyataannya kepercayaan masyarakat
terhadap mitos yang didoktrinkan masih banyak yang mempercayainya. Kepercayaan
terhadap dunia perdukunan, misalnya, masih banyak berkembang di masyarakat.
Realita Terbalik
Mitos
yang terus berkembang dan dipercaya oleh masyarakat ternyata tidak hanya berdampak
terhadap satu orang sebagai penghembusnya yang personal. Melainkan akibat
doktrinasi yang belangsung dalam waktu yang lama mengakibatkan dipercaya pula
oleh banyak orang. Doktrin tesebut seperti memiliki daya tarik tersendiri untuk
membius seseorang sehingga menjadi pengikutnya.
Dalam
jangka yang tidak terlalu lama itu pun dapat meyakinkan pengikutnya bahwa
doktrinasi tersebut adalah benar dan dapat menjadi kebenaran. Matahari yang
mengelilingi bumi seperti yang dihembuskan oleh Vatikan di Yunani atau pun batu
akik jenis bacan yang dapat menjaga pemiliknya dari serangan musuh dianggap
sebagai sebuah kebenaran.
Karena
kebenaran itu pula sehingga pengikutnya atau lebih tepatnya orang yang memercayainya
pun semakin banyak. Idealnya, kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan
dan objek, bisa juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yang
sesuai dengan (atau tidak ditolak oleh) orang lain dan tidak merugikan diri
sendiri (wikipedia).
Namun,
pengertian kebenaran tersebut bergeser akibat doktrinasi. Sebab kepercayaan
yang sudah tertanam dalam dirinya sehingga kebenaran sejati itu tak terlihat.
Yang muncul hanya keberadaan benda atau objek dan kepercayaan itu sendiri.
Orang yang sudah terlanjur memecayai semacam ini tentu sulit mengubah
kepercayaannya.
Wajah
Baru Tubuh Lama
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi
sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang
menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu
mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas
siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Dari
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh
kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke
lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang
diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Dua
hadis di atas merupakan hal yang sangat penting untuk direnungi. Bila dikaitkan
dengan mitos maka sebenarnya pergeseran zaman hanya berada pada permukaan.
Meskipun tidak menutup kemungkinan pergeseran zaman juga mengubah beberapa hal
mendasar dalam kehidupan manusia. Namun, masih tersematnya doktrin-doktrin baru
yang berlandaskan mitos menunjukkan bahwa sejatinya manusia tidak mengalami
kemajuan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada kecenderung zaman akan bergerak
mundur.
Sebagaimana
yang disabdakan oleh Nabi saw juga ditegaskan bahwa dalam suatu masa umat
manusia akan mengikuti umat-umat terdahulu. Hal itu juga sangat berkaitan
dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos. Bila dirunut menurut sejarah tentu
jelas diketahui bahwa kepercayaan terhadap mitos-mitos merupakan kepercayaan
yang tertanam pada umat-umat terdahulu. Misalnya, pada masa-masa kaum pagan
yang menuhankan benda-benda yang dianggap memiliki tuah.
Jika
memang demikian adanya, maka secara kasat dapat dipastikan bahwa pergerakan
zaman sebenarnya hanya pada permukaan. Komponen-komponen mendasar yang terletak
pada tubuhnya belum sepenuhnya berubah. Justru memiliki potensi untuk kembali
ke masa lampau.
Doktrinasi
berlandaskan mitos sehingga melahirkan kepercayaan-kepercayaan dan kemudian
terus bergerak membentuk sebuah pola pikir yang dianggap sebagai kebenaran
meski itu tidak sesuai denga kenyataan. Atau yang seperti disebut di atas
sebagai kebenaran terbalik. Yakni, kesalahan yang dianggap sebagai kebenaran
dan kebenaran justru tidak memiliki arti apa-apa atau lebih tragis jika
kebenaran dianggap sebagai kesalahan.
Oleh
karena itu, diperlukan gerak seirama antara kemajuan pola pikir dan keyakinan
untuk menemukan perubahan yang sejati. Keyakinan yang tidak ditopang oleh
pengetahuan tentu hanya mengambang pada tataran ikut-ikutan (taqlid buta). Taqlid buta adalah suatu yang dilarang dalam agama Islam. Umat
Islam dituntut untuk mencari ilmu agar mengetahui dan tidak hanya taqlid buta.